Makanan disajikan melimpah di atas tikar, dialasi daun pisang sepanjang dua kaki dan selebar satu kaki sebagai ganti taplak. Makanan mereka seperti makanan kita, bergaram. Ada yang dipanggang, dirempahi, digoreng. Namun mereka hanya menggunaan minyak sebagai ganti mentega. Jamuan mereka seringkali sangat bersahaja, terdiri dari domba, kambing, atau seperempat sapi dan kerbau panggang.
Dari catatan Van Goens itu, dapat sedikit terbayang penyajian masakan pada masa lalu. Duta VOC di Batavia itu beberapa kali mengunjungi Keraton Mataram ketika Amangkurat I (1645-1677) berkuasa.
Sayang, penjelasannya kurang detail, sehingga masih sulit membayangkan rasa makanan itu, selain kalau masakan itu dirempahi. Epigraf asal Australia, Antoinette M. Barret Jones dalam Early Tenth Century Java from the Inscriptions, memperkirakan bumbu masakan pada zaman kuno, paling tidak di Jawa pada abad ke-10 M. Dia menyebut rasa masakannya berbeda dengan sekarang.
Beberapa bahan masakan baru dikenal masyarakat Nusantara setelah orang Eropa menemukan Benua Amerika. Misalnya cabai, nanas, sawo, jagung, papaya, markisa, srikaya, jambu batu, dan singkong.
Bumbu Jawa yang kini populer baru kemudian diimpor. Jintan misalnya, tumbuh di Timur Tengah. Kuma-kuma (saffron) dibawa dari wilayah Mediterania. Ketumbar aslinya dari Timur Tengah dan wilayah Mediterania.
Tanaman untuk bumbu yang diketahui ditanam di Jawa sejak lama adalah merica, lada hitam, lada putih, dan cabe Jawa. Sementara kemukus telah menjadi produk ekspor ke Tiongkok sejak 1200-an.
Sementara itu, laos merupakan tanaman asli Jawa. Penjelajah Italia, Marco Polo pernah mencatat tanaman ini diproduksi di Jawa sekira abad ke-13 M. Adapun jahe dan bawang disebut sebagai produk yang diperjualbelikan di desa.
“Kita dapat memperkirakan makanan pada abad 10 M mungkin saja dibumbui dengan jahe, kunyit, kapulaga, dan laos, juga merica,” tulis Antoinette.
Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, meski terkenal sebagai negeri rempah dan terbiasa merempahi makanannya, rupanya tak banyak orang Eropa dan Tiongkok yang protes akan rasanya. Pada masa itu tidak pernah ada yang mengemukakan bahwa makanan di Asia Tenggara terlalu banyak bumbu, pedas, atau terlalu banyak memakai rempah.
“Mungkin karena kedua bangsa pemakan daging ini, yang ingin menyembunyikan rasa daging lama mereka, ketika itu juga sudah terbiasa dengan rasa rempah dalam makanan Asia Tenggara,” tulis Reid.
Aneka ragam tanaman juga sohor di pasar-pasar Asia Tenggara, seperti asam, kunyit, jahe, kemukus, calamus. Semuanya digunakan sebagai bahan penyedap makanan dan obat-obatan.
“Bahan makanan yang masih digunakan sampai saat ini, misalnya gula aren, minyak, beras, asem, dan terasi, bagi Jawa merupakan komoditas ekspor,” tulis Reid.
Bagi mereka yang berada di kawasan Asia Tenggara, terasi dan kunyit merupakan bahan makanan pedas paling umum hingga diperkenalkannya cabai dari Amerika selatan pada pengujung abad ke-16.
Berdasarkan laporan orang Belanda pada 1596 cabai telah tumbuh di beberapa bagian Jawa. Bahkan, gubernur Belanda di Banten menggunakannya sebagai pengganti lada ketika lada langka.
“Lada hitam kendati dijual di mana-mana tak begitu penting artinya dalam makanan orang Asia Tenggara,” tulis Reid.
Kemudian terasi yang sejak dulu bahan makanan ini dinilai sebagai penyempurna makanan. “Tidak sempurna makan nasi tanpa ikan, dan terutama terasi yang kaya protein dari ikan,” catat Reid.
Terasi bagi orang Melayu disebut belacan. Orang Thailand menyebutnya kapi. Di Burma, terasi disebut nga-pee, di Vietnam nuoc mam. Terasi menjadi makanan kegemaran orang Asia Tenggara.
Resep Warisan Masa Lalu
Hingga kini sulit mendapatkan sumber yang menjabarkan resep masakan masa kuno. Berdasarkan penjelasan Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, ada sedikit petunjuk dalam relief Candi Borobudur. Terdapat penggambaran dua ekor kepiting dan empat ekor ikan. Masing-masing hanya nampak bagian atasnya, yaitu sepasang capit kepalanya. Menurut Dwi, bisa jadi bagian bawahnya mungkin terendam kuah.
“Boleh kadi kuah bersantan, kata santen telah kedapatan dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, dalam arti: diperas dari daging kelapa, seperti disebut pada Kakawin Ramayana, Bharatayuddha, Sumanasantaka, kitab Tantri Kadiri, Korawa- srama,” jelas Dwi.
Kendati tak banyak petunjuk, menurut peminat kuliner dan arkeolog Lien Dwiari Ratnawati, racikan bumbu di Bali bisa menjadi contoh setidaknya bumbu yang dipakai pada era Majapahit.
“Ketika Islam mendesak, banyak orang Majapahit lari ke Bali,” kata kepala Subdirektorat Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Masyarakat Tenganan, Pegrisingan misalnya. Dalam perayaan tertentu hingga kini masih menyajikan nasi tumpeng lengkap dengan berbagai jenis lauk seperti dalam prasasti.
Tradisi Bali hingga kini masih mewarisi dan mempertahankan beberapa resep masakannya dalam bentuk Lontar Dharma Caruban. Beberapa resep dicatat misalnya otak-otak, beragam sate, ayam panggang, hingga brengkes yang pengolahannya hampir sama dengan pepes.
Murdijati Gardjito, profesor dan peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyoroti minimnya penulisan resep masakan pada masa lalu juga berkaitan dengan masalah gender. Memasak sejak dulu dipandang sebagai urusan domestik. Hanya perempuan yang di dapur.
“Dari dulu kan perempuan tidak dididik untuk menulis. Sudah tidak menulis, selalu di dapur, tidak keluar. Serat Centini saja hanya menyebut nama makanannya. Tidak pernah ada cerita bagaimana membuatnya,” ujarnya.
Kendati begitu banyak kekayaan kuliner masa lalu yang masih bisa dicicipi pada hari ini. “Mereka mewarisinya secara lisan,” katanya.
Tags:
Kuliner